Cerdas Mendunia!

Wednesday, 30 May 2018

Imanan wa Ihtisaban ( Part 2) – Nilai Keyakinan


Masih melanjutkan pembahasan tentang mindset Imanan. Bukti banyaknya manusia yang gagal membawa keyakinannya atau believe nya dalam kehidupan adalah pendidikan dan bisnis. Hari ini pendidikan hanya berwujud pengajaran akademis tanpa makna, sementara bisnis hanya berwujud pengejaran keuntungan tanpa makna.

Kita tahu semua, persekolahan Islam umumnya hanyalah pengajaran akademis agama plus akademis umum, namun nilai nilai keyakinan Islam tidak menjadi platform sama sekali, platform modern school ala industrialisasi baratlah yang digunakan. Ibarat menginstal microsoft office di atas Linux, walau kontennya Islam tetap hasilnya sama saja karena platformnya tetap bukan Islam. Karenanya kenakalan yang terjadi di persekolahan Islam dan persekolahan umum tidak jauh berbeda. Sebuah riset terhadap sebuah sekolah menengah atas Islam terkenal di Jakarta menemukan bahwa hanya 5% siswa yang sholat lima waktu secara penuh. Ini belum termasuk kenakalan lainnya.

(sumber: http://www.altreligionscientology.org/this-i-believe/) 


Begitupula yang terjadi pada Perbankan Islam, umumnya hanya casing syariah pada produk produk perbankan konvensional. Tanpa bermaksud merendahkan upaya mereka yang berjuang mensyariahkan perbankan konvensional, tetapi tanpa nilai nilai keyakinan yang ajeg sejak dari filosofi sampai kepada inovasi, maka ya itu tadi hanya casing atau penempelan semata.

Jika kita jeli, bahkan kebanyakan lembaga zakat, infaq, shodaqoh cenderung berkembang dengan pendekatan dan ambisi konglomerasi ala kapitalisme. Mungkin ada yang bilang, bagaimana membawa keyakinan dan kesadaran kita ke dalam bisnis, sementara kita sekarang ada dalam sistem kapitalisme dimana semua dikapitalisasi, maka lalu sadar atau tidak kemudian orang menganggap sah sah saja jika lembaga ZIS didirikan atas platform kapitalisme.

Bahkan dalam pernikahan dan keluarga juga demikian. Misalnya berapa banyak pernikahan para aktifis yang kandas, padahal pemahaman tentang agama tak kurang sama sekali, hal ini terjadi karena gagal membawa nilai nilai keyakinannya dalam pernikahan. Pernikahan umumnya hanya berjalan begitu saja tanpa misi keluarga, tanpa hal hal besar yang diperjuangkan bersama atas keyakinannya atau ghirah keimanannya.

Mental kita umumnya takut dan tamak. Takut miskin ketika masih susah dan tamak ketika sudah makmur. Takut mendidik anak sendiri tetapi tamak ingin agar anak menguasai semua hal dan ingin agar anak kaya raya. Mental inilah yang membuat mindset imanan susah masuk terbawa dalam kehidupan.

Kita melupakan bahwa kita adalah manusia yang diberi jiwa dan keyakinan, yang apabila itu tidak dilibatkan dalam kehidupan yang kita jalani, maka kemudian produk atau jasa yang kita ciptakan hanya untuk mengejar ambisi dan obsesi yang tak akan membuat semua bahagia. Dalam jangka panjang akan merobohkan semuanya.

Seorang filsuf menggambarkan hal ini dengan sangat indah: “Pada hampir semua orang, partisipasi dalam kisah-kisah kehidupan kita ini terjadi otomatis, tanpa disadari. Kita hidup seperti aktor dalam sebuah drama, yang diberikan peran tanpa memahami keseluruhan kisahnya. Tetapi ketika Anda berhubungan dengan jiwa Anda, Anda lihat keseluruhan naskah cerita dramanya. Anda mengerti. Anda tetap berpartisipasi dalam kisahnya, tetapi sekarang Anda berpartisipasi dengan penuh sukacita, dengan sadar, dan dengan sepenuhnya. Anda bisa membuat pilihan-pilihan yang didasarkan kepada pengetahuan dan lahir dari keterbebasan. Setiap momennya menjadi lebih berkualitas berkat penghargaan terhadap apa apa makna itu dalam konteks kehidupan kita.”

Ramadhan mengajak kita untuk berhenti sejenak, merenung seberapa keimanan, keyakinan itu terbawa dan terekat kuat dalam kehidupan. Kita diminta untuk memanjangkan ibadah di malam hari dan menghentikan rutinitas makan di siang hari, agar banyak merenung, merefleksikan keimanan dalam perjalanan hidup selama ini.

Ketika kita mengkaitkan jiwa dan keyakinan dalam kehidupan dan misi besar kehadiran kita di dunia maka terkuaklah semua mistery dan lenyaplah semua misery.

Salam Pendidikan Peradaban

Artikel ini terdiri dari 8 bagian, silakan klink link berikut untuk membaca part lainnya. Part 1, Part 3, Part 4, Part 5, Part 6, Part 7, Part 8.

#fitrahbasededucation
#pendidikanberbasisfitrah

Oleh Ust. Harry Santosa
https://www.facebook.com/harry.hasan.santosa
Share:

0 comments :

Post a Comment

Translate

Tentang Penulis

Tentang Penulis
Powered by Blogger.

Flag Counter

Flag Counter