Istilah istilah dalam khazanah Islam
seringkali mengalami peyoratif atau penyempitan makna. Contohnya makna Niat,
begitu mendengar kata Niat, maka benak kita lantas merujuk kepada niat sebagai
lafazh untuk memulai ibadah ritual, "nawaitu shoma ghodin...",
"usholi fardhu zuhri..." dstnya.
Di Barat, istilah niat itu diartikan
sebagai intrinsic motivation, motivasi dari dalam diri manusia yang dapat
memicu amal lebih spontan, ikhlash, kreatif serta permanen. Motivasi dari luar
(extrinsic motivation) seperti reward and punishment, over stimulus, over
conditioning, bahkan pembiasaan dan drilling dianggap menyebabkan orang beramal
robotik namun juga tidak permanen.
Pantas saja jika hari ini ummat Islam
tak memiliki etos hebat yang berangkat dari dalam jiwanya, bisa jadi karena
diawali sempit memaknakan niat, padahal niat itu suatu mindset strategis yang
dahsyat yang menggerakkan manusia untuk beramal secara tulus, kreatif dan
produktif dalam setiap aspek kehidupannya. Maka kini kita bisa paham mengapa
semua kitab klasik Islam selalu diawali dengan bab niat. Itu karena hebatnya
makna Niat dan implemehtasinya dalam peradaban Islam di masa lalu.
Itulah pentingnya makna dari suatu
istilah, apalagi istilah yang penting, karena akan menentukan cara orang
berfikir, cara merasa dan cara bertindak. Makna dengan narasi yang ringan
menyebabkan gagasan, imaji dan aksi yang ringan, sementara makna dengan narasi
yang mendalam dan besar akan memicu gagasan, imajinasi dan solusi yang besar pula.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebut
bahwa makna Imanan adalah sesuatu yang diikrarkan dengan lisan, dibenarkan oleh
hati dan dikerjakan atau dibuktikan dengan amal perbuatan. Jadi iman itu
seyogyanya, sesuatu yang mewarnai, menginspirasi, menggerakkan setiap langkah
kehidupan manusia dalam semua bidang kehidupan, baik pendidikan, bisnis,
pernikahan dstnya.
Umumnya kita gagal membawa Keimanan
atau Keyakinan ini dalam setiap aspek kehidupan kita, sehingga wujudnya hanya
penempelan konten agama dan simbol simbolnya, namun platformnya tetap
materialisme, liberaisme dstnya. Itu karena kita hanya memahami keimanan
sebagai makna yang sempit yaitu sekedar beragama bukan berkeimanan atau
beraqidah.
Keimanan itu harus masuk ke dalam jantung
kehidupan, sebagai suatu cara berfikir, cara merasa dan cara bertindak, jika
tidak maka keimanan hanya menjadi penempelan simbol simbol agama dalam
kehidupan, celakanya hanya materialisme berselimut agama.
Indikator Keimanan masuk dalam
Kehidupan
1. Keimanan itu harus muncul sebagai
keyakinan bahwa kita hidup di dunia dalam rangka mencapai maksud penciptaan
(the purpose of life), yaitu beribadah kepada Allah dan menjadi Khalifah Allah
di muka bumi.
Contoh, andaikan kita bekerja atau
berbisnis, lalu mengatakan bekerja dan berbisnis adalah untuk beribadah tetapi
yang ditunggu tunggu atau yang diorientasikan adalah gajian dan keuntungan,
bukan menebar sebesar besar rahmat dan manfaat, maka kita sesungguhnya sedang
mengalami disorientasi keimanan dalam mencapai the purpose of life.
Begitupula dalam pernikahan dan
mendidik anak, jika kita mengatakan menikah dan mendidik anak adalah dalam
rangka beribadah dan menjadi khalifah Allah di muka bumi, namun yang ditunggu
tunggu adalah harta dan aset yang dikumpulkan serta anak anak yang
diorientasikan agar kaya, segera bekerja dan sekedar menguasai banyak ilmu
agama dan ilmu umum tanpa makna, maka lagi lagi kita sedang mengalami
disorientasi keimanan.
Jika kesibukan kesibukan kita adalah
rutinitas dan kecanduan perbuatan tanpa tujuan besar hidup di dunia yaitu untuk
beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah Allah di muka bumi maka
sesungguhnya kita mengalami disorientasi keimanan.
2. Keimanan itu harus berwujud menjadi
the mission of life atau Misi Hidup, jika tidak maka kita mengalami kegagalan
membawa keimanan dalam kehidupan nyata. Misi hidup adalah apa saja dari
aktifitas inti yang kita lakukan dalam kehidupan dengan penuh semangat, ikhlash
yang spontan, antusias, produktif serta penuh manfaat sesuai dengan panggilan
hidup atau fitrah kita.
Tanpa kejelasan Misi Hidup atau Peran
Peradaban maka kita sulit mengatakan bahwa kita adalah hamba Allah dan khalifah
Allah. Tanpa misi hidup yang dituntaskan sampai akhir hayat, maka sesungguhnya
kita tak pernah mencapai maksud Allah menghadirkan kita di dunia.
Dalam Ramadhan, kita dididik untuk
menyelaraskan (aligned) keimanan kita dengan aktifitas Ramadhan, khususnya
shaum, agar tidak misorientasi, bahkan Allah SwT mengatakan bahwa puasa itu
untukKu, Aku yang langsung memheri pahala puasa pada hambaKu. Jadi shoum atau
puasa melatih kita untuk senantiasa berorientasi ke langit dalam tiap aspek
kehidupan.
Artikel ini terdiri dari 8 bagian, silakan klink link berikut untuk membaca part lainnya. Part 1, Part 2, Part 3, Part 4, Part 5, Part 7, Part 8.
Salam Pendidikan Peradaban
Oleh Ust. Harry Santosa
https://www.facebook.com/harry.hasan.santosa
0 comments :
Post a Comment