Dalam perspektif pendidikan berbasis fitrah, semua aspek
fitrah apabila dirawat, dibangkitkan, ditumbuhkan (tarbiyah) dengan paripurna
kelak akan menjadi peran peran dalam kehidupan bahkan menjadi adab mulia. Peran
terbaik dan adab mulia adalah indikator tercapainya pendidikan berbasis fitrah.
Misalnya fitrah bakat, jika tumbuh paripurna, kelak akan
menjadi peran dalam bidang kehidupan dalam bidang profesi atau akademisi atau
wirausaha dengan karya karya solutif terbaik dalam bidang tersebut yang memberi
manfaat besar bagi masyarakat. Tentu saja mereka yang punya karya dan manfaat
itu disebut manusia yang beradab pada masyarakatnya.
Begitupula fitrah seksualitas, jika tumbuh paripurna,
kelak akan menjadi peran keayahbundaan terbaik atau peran kesuami istrian
terbaik, yang tentu saja dengan peran terbaik itu pasti beradab mulia kepada
anak keturunan dan pasangan. Sementara fitrah belajar dan bernalar jika tumbuh
paripurna kelak akan memcapai peran innovator yang beradab pada alam, ilmu dan
ahli ilmu (ulama). Tanpa fitrah fitrah yang tumbuh baik maka sulit tercapai
peran peran atas fitrah itu dan mustahil tercapai misi kehidupan dan tujuan
penciptaan manusia di muka bumi.
Fitrah
Keimanan
(sumber: https://gcendekia.blogspot.com/2018/05/imanan-wa-ihtisaban-part-2-nilai-nilai.html)
Khusus untuk fitrah keimanan, sesungguhnya inilah fitrah
yang paling utama yang kelak menjadi ujung tombak bagi semua peran peran dalam
hidup seorang manusia. Jadi fitrah keimanan, apabila ditumbuhkan dengan
paripurna kelak akan menjadi peran untuk menyeru kebenaran atau menyeru Tauhid,
dalam istilah Islam disebut Da'i Robbani. Fitrah keimanan inilah yang
menyatukan semua potensi fitrah lainnya dan peran perannya dalam sebuah misi
mulia.
Peran menyeru kebenaran atas fitrah keimanan ini di dalam
tataran praktis wujudnya adalah keinginan atau gairah besar untuk membuat
perubahan bagi peradaban yang lebih lestari dan harmoni. Itulah keimanan yang
benar dan sejati, yang mendorong manusia untuk hidup lebih bermakna dengan
menjadi agen perubahan, yaitu sikap dan mental juga kompetensi untuk peduli,
berani dan mampu menerima dan mengambil tanggungjawab melakukan perubahan atas
krisis di dunia. Ghirah keimanan seseorang dianggap lemah atau tidak tumbuh
baik jika tak sampai kepada derajat ini.
Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang melihat kemungkaran, hendaknya
merubahnya dengan tangan, jika tak mampu maka dengan lisan, jika tak mampu
juga, maka dengan hati, itulah selemah lemahnya keimanan"
"Bukanlah al-iman itu dengan berpangku-tangan dan
bukan pula dengan berangan-angan, tetapi al-iman itu adalah apa yang memancar
di dalam qalbu dan dibenarkan (dibuktikan) dengan al-amal. Demi jiwaku yang ada
dalam genggaman-Nya: seseorang tidak akan masuk surga kecuali dengan amal
yutqinuhu (yang dikuasainya)."
Para sahabat bertanya: "Ya, Rasulullah, apa yang
dimaksud dengan 'yutqinuhu'?". Rasulullah SAW menjawab: "yuhkimuhu
(dia ahlinya)".
—H.R. Abu Qasim bin Busyroni, Ad-Darqathani, Ibnu Najar, Abu Nu’aim Al-Isfahani.
—H.R. Abu Qasim bin Busyroni, Ad-Darqathani, Ibnu Najar, Abu Nu’aim Al-Isfahani.
Peduli (awareness), berani dan mampu membuat perubahan
inilah yang merupakan hasil dari pendidikan fitrah keimanan yang benar sesuai
tahapannya. Agar sampai kepada Keimanan dengan derajat yang demikian maka tahap
awal mendidik fitrah keimanan harus dimulai dengan menguatkan konsepsi fitrah
keimanan itu dengan kecintaan yang mendalam atau Mahabbah.
Kekuatan cinta (Mahabbah) inilah kemudian melahirkan
keridhaan untuk sampai pada derajat berikutnya yaitu mencapai kesadaran
menerima Kebenaran sebagai sebuah aturan dalam kehidupan melalui beragam amal
atau aktifits positif dan pemuasan nalar. Baru kemudian keimanan itu sampai
pada derajat siap untuk menerima ujian keimanan.
Keimanan yang dibangun pada awalnya bukan dengan
kecintaan dan keridhaan, tetapi dibangun dengan kebencian, ketakutan hanyalah
melahirkan manusia ekstrim di kemudian hari, bisa ekstrim kiri (liberlais
atheis) atau ekstrim kanan (teroris).
Berefleksi kepada Ramadhan
Sampai sini semoga kita bisa memahami mengapa Imanan itu
utama dan penting sebelum ihtisaban, karena keimanan inilah motif terdalam dan
terbesar dari perubahan baik skala individual maupun komunal, pribadi maupun
keluarga bahkan bangsa. Dalam konteks keimanan tadi, kita juga akan segera
paham bahwa keimanan harus dimulai dengan kecintaan dan keridhaan, baru
kesadaran dan ketaatan, serta dilanjutkan dengan pengujian dan pengokohan,
itulah mengapa Ramadhan dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase rahmah, fase
maghfirah dan fase itqumminannaar.
Itulah sesungguhnya isyarat bagaimana keimanan harus
ditumbuhkan bertahap. Begitupula orangtua dan pendidik dalam mendidik keimanan
hendaknya awali dengan kesan kesan indah sehingga bangkitlah ghirah kecintaan,
lalu lanjutkan dengan memberi banyak ampunan dalam beramal yaitu berupa banyak
memberi kesempatan beramal dan bernalar walau bisa jadi salah sehinggs
diharapkan muncul kesadaran, dan akhirnya diberi ujian agar keimanan itu kokoh
sehingga siap menjadi agen perubahan. Sungguh Imanan akan berdampak besar dalam
kehidupan, jika ia muncul sebagai peran untuk membuat perubahan terbaik dengan
adab yang mulia.
Artikel ini terdiri dari 8 bagian, silakan klink link
berikut untuk membaca part lainnya. Part 1, Part 2, Part 3, Part 5, Part 6,
Part 7, Part 8.
Salam Pendidikan Peradaban
Oleh Ust. Harry Santosa
https://www.facebook.com/harry.hasan.santosa
0 comments :
Post a Comment