Cerdas Mendunia!

Monday, 4 June 2018

Imanan wa Ihtisaban (Part 4) – Fitrah Keimanan


Dalam perspektif pendidikan berbasis fitrah, semua aspek fitrah apabila dirawat, dibangkitkan, ditumbuhkan (tarbiyah) dengan paripurna kelak akan menjadi peran peran dalam kehidupan bahkan menjadi adab mulia. Peran terbaik dan adab mulia adalah indikator tercapainya pendidikan berbasis fitrah.

Misalnya fitrah bakat, jika tumbuh paripurna, kelak akan menjadi peran dalam bidang kehidupan dalam bidang profesi atau akademisi atau wirausaha dengan karya karya solutif terbaik dalam bidang tersebut yang memberi manfaat besar bagi masyarakat. Tentu saja mereka yang punya karya dan manfaat itu disebut manusia yang beradab pada masyarakatnya.

Begitupula fitrah seksualitas, jika tumbuh paripurna, kelak akan menjadi peran keayahbundaan terbaik atau peran kesuami istrian terbaik, yang tentu saja dengan peran terbaik itu pasti beradab mulia kepada anak keturunan dan pasangan. Sementara fitrah belajar dan bernalar jika tumbuh paripurna kelak akan memcapai peran innovator yang beradab pada alam, ilmu dan ahli ilmu (ulama). Tanpa fitrah fitrah yang tumbuh baik maka sulit tercapai peran peran atas fitrah itu dan mustahil tercapai misi kehidupan dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi.

Fitrah Keimanan

(sumber: https://gcendekia.blogspot.com/2018/05/imanan-wa-ihtisaban-part-2-nilai-nilai.html)

Khusus untuk fitrah keimanan, sesungguhnya inilah fitrah yang paling utama yang kelak menjadi ujung tombak bagi semua peran peran dalam hidup seorang manusia. Jadi fitrah keimanan, apabila ditumbuhkan dengan paripurna kelak akan menjadi peran untuk menyeru kebenaran atau menyeru Tauhid, dalam istilah Islam disebut Da'i Robbani. Fitrah keimanan inilah yang menyatukan semua potensi fitrah lainnya dan peran perannya dalam sebuah misi mulia.

Peran menyeru kebenaran atas fitrah keimanan ini di dalam tataran praktis wujudnya adalah keinginan atau gairah besar untuk membuat perubahan bagi peradaban yang lebih lestari dan harmoni. Itulah keimanan yang benar dan sejati, yang mendorong manusia untuk hidup lebih bermakna dengan menjadi agen perubahan, yaitu sikap dan mental juga kompetensi untuk peduli, berani dan mampu menerima dan mengambil tanggungjawab melakukan perubahan atas krisis di dunia. Ghirah keimanan seseorang dianggap lemah atau tidak tumbuh baik jika tak sampai kepada derajat ini.

Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang melihat kemungkaran, hendaknya merubahnya dengan tangan, jika tak mampu maka dengan lisan, jika tak mampu juga, maka dengan hati, itulah selemah lemahnya keimanan"

"Bukanlah al-iman itu dengan berpangku-tangan dan bukan pula dengan berangan-angan, tetapi al-iman itu adalah apa yang memancar di dalam qalbu dan dibenarkan (dibuktikan) dengan al-amal. Demi jiwaku yang ada dalam genggaman-Nya: seseorang tidak akan masuk surga kecuali dengan amal yutqinuhu (yang dikuasainya)."

Para sahabat bertanya: "Ya, Rasulullah, apa yang dimaksud dengan 'yutqinuhu'?". Rasulullah SAW menjawab: "yuhkimuhu (dia ahlinya)".
—H.R. Abu Qasim bin Busyroni, Ad-Darqathani, Ibnu Najar, Abu Nu’aim Al-Isfahani.

Peduli (awareness), berani dan mampu membuat perubahan inilah yang merupakan hasil dari pendidikan fitrah keimanan yang benar sesuai tahapannya. Agar sampai kepada Keimanan dengan derajat yang demikian maka tahap awal mendidik fitrah keimanan harus dimulai dengan menguatkan konsepsi fitrah keimanan itu dengan kecintaan yang mendalam atau Mahabbah.

Kekuatan cinta (Mahabbah) inilah kemudian melahirkan keridhaan untuk sampai pada derajat berikutnya yaitu mencapai kesadaran menerima Kebenaran sebagai sebuah aturan dalam kehidupan melalui beragam amal atau aktifits positif dan pemuasan nalar. Baru kemudian keimanan itu sampai pada derajat siap untuk menerima ujian keimanan.
Keimanan yang dibangun pada awalnya bukan dengan kecintaan dan keridhaan, tetapi dibangun dengan kebencian, ketakutan hanyalah melahirkan manusia ekstrim di kemudian hari, bisa ekstrim kiri (liberlais atheis) atau ekstrim kanan (teroris).

Berefleksi kepada Ramadhan
Sampai sini semoga kita bisa memahami mengapa Imanan itu utama dan penting sebelum ihtisaban, karena keimanan inilah motif terdalam dan terbesar dari perubahan baik skala individual maupun komunal, pribadi maupun keluarga bahkan bangsa. Dalam konteks keimanan tadi, kita juga akan segera paham bahwa keimanan harus dimulai dengan kecintaan dan keridhaan, baru kesadaran dan ketaatan, serta dilanjutkan dengan pengujian dan pengokohan, itulah mengapa Ramadhan dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase rahmah, fase maghfirah dan fase itqumminannaar.

Itulah sesungguhnya isyarat bagaimana keimanan harus ditumbuhkan bertahap. Begitupula orangtua dan pendidik dalam mendidik keimanan hendaknya awali dengan kesan kesan indah sehingga bangkitlah ghirah kecintaan, lalu lanjutkan dengan memberi banyak ampunan dalam beramal yaitu berupa banyak memberi kesempatan beramal dan bernalar walau bisa jadi salah sehinggs diharapkan muncul kesadaran, dan akhirnya diberi ujian agar keimanan itu kokoh sehingga siap menjadi agen perubahan. Sungguh Imanan akan berdampak besar dalam kehidupan, jika ia muncul sebagai peran untuk membuat perubahan terbaik dengan adab yang mulia.

Artikel ini terdiri dari 8 bagian, silakan klink link berikut untuk membaca part lainnya. Part 1, Part 2, Part 3, Part 5, Part 6, Part 7, Part 8.

Salam Pendidikan Peradaban

Oleh Ust. Harry Santosa
https://www.facebook.com/harry.hasan.santosa
Share:

0 comments :

Post a Comment

Translate

Tentang Penulis

Tentang Penulis
Powered by Blogger.

Flag Counter

Flag Counter